Story

1 Maret 2020, tepat dimana usiaku telah 18 tahun. Yang ada di dalam pikiran orang-orang usia 18 tahun adalah usia peralihan dari remaja menuju dewasa. Yah memang, aku pun merasakan gejalanya, begitu pula teman-temanku. Mulai bosan dengan rutinitas sehari-hari, mulai bosan dengan keadaan dan memiliki kecemasan akan masa yang akan datang.

Terkadang aku iri dengan para pendahulu. Di usia 18 tahun Alexander Agung telah membangun pemikirannya dengan mentor Aristoteles. Di usia 18 tahun Tuthankhamun telah menjadi raja besar pada jaman mesir kuno. Di usia ini pun sultan Muhammad II telah naik tahta.

Lantas, apa yang telah ku capai selama ini? Tidak ada😂

Lalu apakah aku akan mengikuti mereka, orang-orang yang telah menuliskan nama mereka dalam buku sejarah? Atau menjadi orang pada umumnya?

Hal inilah yang membuat ku bingung. Di dalam sejarah aku belajar banyak dari mereka. Raja yang adil, raja yang berpikir bahwa kekuasaan adalah segalanya, serta raja yang religius. 

Raja mana yang harus ku ikuti?

Dulu ketika kelas 10 SMA saya belajar dari seseorang tentang pelajaran berharga yang tidak ada disemua pelajaran. Memangnya apa?

Kebijaksanaan....

Hal yang telah merubah cara pandang ku tentang dunia, tentang manusia, terutama tentang diriku pribadi. 

Aku begitu menyukai sains dan tidak menyukai yang lainnya. Implikasinya adalah pandanganku begitu sempit dengan berbagai hal kecuali dengan apa yang ku sukai.

Sudah begitu lama aku terjebak dalam labirin gelap yang membuatku berputar-putar dan juga membuatku seolah-olah berada di luar labirin itu. Tempat yang luas dan terang. Padahal jelas itu tempat yang sempit dan gelap. Ilusi yang seolah adalah kenyataan.

"Hidup yang tidak disangsikan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani."

Kira-kira begitu kata Socrates.

Begitu mempelajari pemikiran Socrates, aku berdiri dari labirin itu dan mulai berpikir "Apakah semua ini benar-benar nyata atau ilusi?" 

Plato pun datang meredupkan cahaya itu dan menunjukkan bahwa selama ini aku hidup dalam kegelapan. Pemikiran Plato mendorongku untuk keluar dari labirin itu dan membuat pemikiran yang lebih besar dengan konsep. Tetapi bagaimana?

Aristoteles datang membawa linggis dan lentera kepadaku. Dia tidak memberitahuku apa kegunaanya dan pergi begitu saja. Tetapi ketika ku renungi sesaat, seketika aku memahami maksudnya.

Labirin gelap yang seolah tak ada jalan keluar, dengan linggis ini aku membuat jalanku sendiri. Tembok demi tembok ku runtuhkan sambil berharap di depan ada cahaya yang memberi jawaban. Tembok-tembok doktrin itu terus kuhancurkan. Dan begitu sampai, ternyata tidak ada cahaya. Hanya kegelapan yang membentang luas dengan kehampaan.

Kembali aku memahami benda kedua pemberian Aristoteles itu. Lentera  itu adalah cahaya pengetahuan yang akan terus menerangi tiap langkahku di tengah kehampaan ini.


Begitulah konflik psikologis yang kualami saat ini 😐


Ternyata begitu, ternyata begini rasanya. Jalan yang ditempuh para filsuf itu memang jalan yang sepi dari keramaian. Menjadi kritis dan mempertanyakan segala hal serta di cap sebagai orang yang sesat. Padahal yang ku lakukan adalah berjalan dengan perlahan sambil membawa  lentera dan memperhatikan  tiap langkahku agar tidak jatuh dalam jurang kehancuran.

Yah pada akhirnya tidak ada jawaban seperti yang ku harapkan. Pada dasarnya pun aku baru mulai melangkah. Untuk menentukan jalan ku sendiri. Bukan untuk menjadi raja-raja atau orang-orang yang telah menuliskan nama mereka dalam buku sejarah, akan tetapi menjadi diriku sendiri.

Menjadi diri sendiri dan banyak belajar dari orang lain. Kurasa itu yang ku perlukan untuk meneruskan langkahku. Bukan untuk menjadi raja yang adil, raja yang religius atau raja yang berkuasa. Akan tetapi menjadi raja yang bijaksana atas diriku.

Yah ketika remaja pada umumnya sibuk dengan masalah cinta yang pada dasarnya hanya membuang waktu dan tak berguna, aku menemukan sesuatu yang lain.

Makna dari cinta itu sendiri. Ketika kita mencinta berarti kita mengagumi bentuk semesta yang lain. Semesta yang tidak ada pada diri kita. Bukan pada bentuk luarnya. Menurutku juga belum waktunya menanggapi hal itu dengan serius. Yang terpenting saat ini adalah tentang diri kita dan kemana kita melangkah karena pada akhirnya pun yang menanggung semua tentang diriku adalah aku sendiri bukan orang lain.

Pendewasaan menurutku adalah proses dimana kita mampu berdiri dengan pemikiran kita sendiri, menentukan jalan kita sendiri dan mengubah pola pikir serta membuang semua doktrin lama yang melekat dalam pikiran.

Sebuah jalan baru....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku Adalah Teman

Prinsip Antropik dan Eksistensi Manusia