Prinsip Antropik dan Eksistensi Manusia
Fenomena alam semesta setiap saat menawarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang seringkali merindukan jawaban tidak mudah dan definitif. Ia bagai tanaman puteri malu yang mekar ketika dilihat dari jauh tetapi mengatup ketika kita mulai tertarik dan ingin menyentuh serta mengamatinya.
Pada waktu kecil, saya sering mendengar dan juga kadang terbesit dalam pikiran saya- pertanyaan teman pada orang tua, guru, atau orang yang lebih dewasa, “mengapa matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat? Mengapa langit terang dari pagi sampai sore hari dan gelap waktu malam? Mengapa bintang, bulan, ataupun matahari itu nampak selalu bersinar? ”. Seringkali jawaban akhir yang dilontarkan adalah “Ya sudah dari sononya demikian, Tuhan telah mengaturnya, dll.” Dengan jawaban seperti itu, seolah-olah semuanya telah selesai dan berharap tidak ada pertanyaan lanjutan. Tapi benarkah telah selesai? Ketika saya beranjak dewasa dengan berbagai bekal pengalaman dan pembelajaran yang diterima pertanyaan seperti itu kadangkala mengusikku kembali dan menimbulkan pertanyaan lanjutan, “mengapa dan bagaimana bisa demikian?Lalu mengarah ke manakah ini semua?” Jawaban, “Tuhan telah mengaturnya” memang bukan jawaban yang menurutku salah dan harus dengan mudah dinafikan, tetapi sebelum sampai itu, adakah verifikasi komprehensif dari segala gejala yang menawarkan pertanyaan sehingga jawaban itu akhirnya membawa kelegaan luar biasa? Suatu pencarian yang panjang dan penuh lika-liku. Sejarah sains membuktikan hal itu.
Jika direfleksikan lebih dalam, pertanyaan-pertanyaan seperti di atas mengarah pada kekaguman akan keteraturan yang sedemikian luar biasa dan di dalamnya juga tersimpan beribu-ribu keinginan untuk tahu lebih dalam di balik “keteraturan” itu. Benak manusia selalu terusik pada sesuatu yang menarik dan kelihatan teratur. Segala jenis Ilmu pengetahuan dengan segala hukum dan teorinya sendiri juga hanya mungkin berkembang karena adanya kekaguman, keheranan, atau bahkan ketakutan akan keteraturan.
“Pandangan pada alam semesta dalam keseluruhannya selalu merupakan suatu sumber ketakjuban, keheranan, atau ketakutan. (Blaise Pascal dalam Les Pensees)
Tentu di balik titik keteraturan itu, ada unsur-unsur yang saling bekerja timbal balik dan membentuk pola tertentu. Keinginan memahami “pola” itu seringkali membuat manusia haus untuk terus-menerus mencari dan menggali namun pada titik dalam pilihan-pilihan mendasar, orang terperajat dan bertanya akan eksistensi dan esensi dirinya di dunia -yang ingin dipahaminya tetapi lebih banyak menyembunyikan “keutuhan wajahnya”. Perjalanan hidup manusia kadang memang membutuhkan titik tertentu untuk memandang diri yang lebih banyak berjalan guna memandang jejak dan membangun pilihan sebagai bekal perjalanan selanjutnya yang lebih berarti. Bagaimana dengan kosmologi?
Kosmologi (dari kata Kosmos) yang pertama kali dipakai oleh Phytagoras (580-500SM) untuk menggambarkan keteraturan dan keselarasan benda-benda langit ini sampai sekarang selalu rindu dan tidak pernah selesai menelisik “wajah penuh”alam semesta ini. Ketertarikan akan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan alam sendiri dalam perkembangannyamenghasilkan “model-model kosmologi” yang tak pernah selesai untuk digali terus-menerus. Model-model kosmologi itu sendiri antara lain model Kosmologi Yunani Antik (2 dunia Aristoteles), Model Kosmologi Abad Pertengahan (Geosentris Ptolomeus, Aristoteles, Kristiani), Model Kosmologi Renaisans dan Modern (Heliosentris Copernicus, Galileo, Kepler, Newton), dan Model Kosmologi Kontemporer (Big Bang).
Pertanyaan dasar, “mengapa alam semesta seperti ini?”pada titik tertentu bagi kosmologi mengalami kesulitan luar biasa untuk dipecahkan, bahkan bagi model kosmologi abad ke-20 yang terbilang sudah sangat maju dengan berbagai dukungan kecanggihan ala-alat pengamatan, laboratorium fisika zarah yang mampu menyediakan “ruang-waktu” mirip masa lampau alam semesta dini dan segala tetapan-tetapan dasar yang memungkinkan perilaku berbagai tampilan alam semesta dalam skala yang berbeda-beda. Kosmologi abad ke-20 sendiri memiliki landasan metodologis yang penting yaitu prinsip kosmologis yang secara embrional ada sejak revolusi Copernicus dan oleh Milne pada tahun 1935 diperkenalkan dengan sebutan Einstein’s Cosmological Principle karena didasarkan pada gagasan Einstein bahwa semua tempat dalam alam semesta tidak berbeda. Dengan kata lain, alam semesta dalam skala besarpun dapat dipandang dari manapun dan ke arah manapun akan tampak serupa. Implikasinya tentu bahwa bumi tidak berada pada posisi khusus seperti yang dipandang pada model kosmologi sebelumnya.
Prinsip Kosmologis ini tentu secara metodologis diperlukan dalam penyelidikan kosmologi karena dapat memberi jaminan bahwa hasil pengamatan kosmologis tidak hanya berlaku lokal di wilayah sekitar pengamatan tetapi berlaku pada semua wilayah alam semesta. Prinsip Kosmologis ini semakin diteguhkan eksistensinya dengan hasil observational Penzias dan Wilson pada tahun 1965 yang semakin mempertegas hasil amatan muaian alam semesta yang semenjak temuan dari Hubble (1929) terus diamati. Prinsip kosmologis menandai kosmologi yang berkembang melebihi spekulasi teoritis dan menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan empiris. Mengapa? Karena berdasarkan “kelahiran” dan perkembangannya, secara observational dan teoritis, kosmologi terpaut erat pada fisika dan astronomi.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara metodologis, kosmologi menjadi bagian dari filsafat alam yang bertumpu di atas dakuan empiris, menekankan pendekatan matematisdan observational dan meninggalkan pendekatan kualitatif-argumentatif, kosmologi menyangkut pemahaman mengenai mekanisme aktual yang memunculkan gejala alam.
Dengan kosmologi fisik yang semakin lama semakin menuntut keobjektifan pada pernyataan-pernyataan keilmuan itu, pertimbangan eksistensi manusia yang pada awalnya memungkinkan adanya ilmu pengetahuan semakin termarginalkan. Bagaimana alam semesta yang unik itu dapat terjangkau oleh kepemahaman? Kata kosmologi sendiri mengandaikan terlebih dahulu manusia dapat menafsirkan gejala yang ia amati ke suatu bentuk keteraturan. Dengan kata lain mengandaikan kemampuan manusia untuk menangkap alam semesta ke dalam struktur yang begitu rupa sehingga alam semesta menjadi terpahami. Dalam filsafat perdebatan ini muncul dalam paham realisme dan idealisme.
Kosmologi kontemporer memang menemukan keteraturan yang jauh lebih mendasar daripada sekedar yang tampil untuk indera manusia. Kosmologi ini menemukan bahwa seluruh struktur alam semesta teramati bukanlah hasil hubungan acak fisika yang muncul begitu saja. Struktur alam dalam berbagai variasi skalanya ternyata merupakan tampilan yang terbentuk akibat penggabungan yang sangat seksama dari berbagai tetapan dasar dan interaksi-interaksi fisika yang terjadi dalam alam semesta.
Suatu kenyataan yang menakjubkan adalah bahwa struktur fisika teramati, bergantung secara amat ketat ke harga aktual tetapan-tetapan itu. Suatu model alam semesta yang dibangun dengan mengubah sedikit saja salah satu harga tetapan dasarnya, bukan saja menghasilkan alam semesta yang jauh berbeda tetapi membayangkan kehidupan seperti yang kita kenal di dalamnya menjadi tidak mungkin. Dengan mengacu ke kepekaan obyek-obyek astronomis dan struktur kosmologis terhadap perubahan harga tetapan dasar, banyak kosmolog menyimpulkan dan sepakat bahwa kehidupan, setidak-tidaknya dengan bentuk seperti yang kita ketahui ini, hanya mungkin hadir akibat kombinasi kosmik yang luar biasa tepat. Tetapi mengapa alam semesta itu demikian? Bukankah alam semesta juga bisaberbentuk lain tapi kenyataannya seperti ini dan demikian adanya. Dari mana tetapan dasar itu? Kebetulankah ini?
Penjelasan ideal dari pertanyaan itu tentu diandaikan dapat diperoleh apabila kosmologi dapat menjangkau awal ruang-waktu, menemukan hukum-hukum dan syarat-syarat permulaan (syarat awal) yang akan ‘memilih’ alam semesta seperti ini. Persoalannya dengan kosmologi adalah Model Big Bang, belum dapat menjelaskan bagaimana dan darimana harga tetapan-tetapan dasar yang demikian muncul? Mengapa alam semesta tampil seperti ini? Model Ledakan Dahsyat Panas harus menerima harga tetapan-tetapan dasar sebagai terberi. Bahkan sampai sekarang para ilmuwan termasuk Hawking yang ingin menyelidiki “syarat awal” itu tetap tidak mampu menyelidikinya. Gagasannya mengenai “Theory-M” dalam bukunya the Grand Design hanya terbatas pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya. Dengan kata lain, mereka sendiri masih meyakini bahwa keadaan pra big bang itu tak teramati.
Prinsip Antropik dan Penafsirannya
Menghadapi berbagai kemungkinan metode kosmologis yang masih sulit menjawab asal mula alam semesta, astrofisikawan dan kosmolog, Brandon Carter (1973) melihat kemungkinan untuk memanfaatkan hubungan logis yang terlihat antara ketertalaan alam semesta dan keniscayaan keberadaan kehidupan. Ia mengajukan prinsip yang dinamakan prinsip antropik; yaitu prinsip yang mencoba menjelaskan banyak ‘kebetulan’ memesona hasil jalinan berbagai tetapan dasar (kecepatan cahaya, muatan elektron, tetapan gravitasi, dan lain-lain) baik di aras kosmologis maupun subatom.
Atensi Carter pada masalah ‘kebetulan’ ini muncul sebagai tanggapan atas usulanBondi bahwa gagasan kosmologi memerlukan teori-teori non-konvensional/teori eksotik seperti teori penyimpangan hukum kekekalan ataupun teori ketaktetapan G (Bondi, 1959). Carter menolak ide ini; bagi Carter justru kebetulan-kebetulan itu adalah pengukuhan bagi fisika dan kosmologi standard. Lebih lanjut Carter ingin mempertahankan pendekatan fisika yang sudah ada tetapi dengan mengajukan prinsip antropik sehingga dapat diprakirakan batas a priori ‘yang mungkin’ untuk ujud-ujud dasar alam semesta yang nampak sebagai kebetulan. Prinsip itu dirumuskan Carter: “Apa yang dapat kita harapkan untuk teramati harus dibatasi oleh kondisi-kondisi niscaya untuk kehadiran kita sebagai pengamat” (sekalipun situasi kita tidak harus sentral, sampai pengertian tertentu tidak bisa tidak, mempunyai keistimewaaan.)
Carter membedakan prinsip ini menjadi prinsip antropik lemah dan kuat. Prinsip antropik lemah dirumuskan: “Kita harus siap untuk memperhitungkan kenyataan bahwa lokasi kita di dalam alam semesta secara ‘niscaya’ khusus dalam pengertian sesuai dengan keberadaan kita sebagai pengamat.”Sedangkan rumusan untuk Prinsip antropik kuat: “Alam semesta (dan dengan begitu parameter -parameter dasar yang menentukan) harus begitu rupa sehingga memungkinkan penciptaan pengamat-pengamat di dalamnya pada suatu tahap tertentu.
Carter yang melahirkan prinsip antropik ini memang jenaka. Tanpa keterangan, ia memainkan diktum filsafat Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir maka aku ada) menjadi “Cogito ergo mundus tali est” (aku berpikir maka kosmos seperti ini). Prinsip itu seakan-akan ingin mengatakan secara sederhana bahwa adanya alam semesta yang tertala ini terancang demi kelahiran manusia dan memang tanpa penjelasan dari Carter, kedua versi prinsip antropik di atas ditafsirkan secara bebas oleh para ilmuwan. Carter sendiri pada awalnya hanya menjelaskan mengenai upaya untuk memprakirakan dan menjelaskan hubungan antara unsur alam semesta dan beberapa tetapan dasar alam serta hubungan antara keduanya dengan eksistensi manusia sebagai pengamat. Banyak tafsiran yang akhirnya menganggap prinsip ini bersifat teleologis dan antroposentristerutama dalam prinsip antropik kuat.
Salah satu buku yang mempopulerkan“versi lain” prinsip antropik ini adalah The Anthropic Cosmological Principle (1989) karya J.D. Barrow dan F.J. Tipler. Di dalam Introduction bagian Anthropic Definitions, pengarang sudah menyuguhkan versi baru atas prinsip antropik ini yaitu prinsip antropik partisipatoris dan prinsip antropik final. Antara sekian banyak segi dari Kosmos yang dibicarakan dalam buku tersebut, pantas dicatat secara khusus puluhan ketetapan fisik dan ukuran dari Big-Bang kosmik primordial. Kelihatan seakan-akan semua yang terjadi sudah diatur, sampai ke dalam detail-detail yang terkecil agar dapat muncul suatu kosmos yang di dalamya sistem matahari kita dapat lahir dengan jenis mineral yang justru diperlukan, jenis lingkungan dan atmosfir yang juga diperlukan supaya dapat nampak kehidupan. Dengan demikian, hidup diperbolehkan lahir sesudah proses yang berlangsung bermilyar-milyar tahun lamanya, di mana terlibat bukan hanya galaksi kita, tetapi juga seluruh alam semesta. Dan akhirnya, nampak manusia sendiri sebagai puncak dari seluruh evolusi kosmik itu. Itu berarti bahwa kita hidup di dalam suatu alam semesta yang bersifat “singular”, “unik” di antara suatu pluralitas dunia yang tak terhitung jumlahnya.
Secara umum terjadi penafsiran bahwa kosmos itu dibuat sedemikian rupa sehingga manusia mungkin ada di dalamnya dan berkegiatan di didamnya. Eksistensi kosmos itu ada demi eksistensi sadar manusia. Benarkah tafsiran semacam ini?
Penjernihan Prinsip Antropik
Pada salah satu makalah, Carter mengatakan bahwa ia mengajukan prinsip antropik lebih sebagai peringatan kepada para teoritisi astrofisika dan kosmologi akan resiko error saat menafsirkan informasi kosmologis (Carter 1983, 348). Risiko itu dapat dikurangi jika sejak awal kosmolog mau memperhitungkan kendala biologis yang ikut berperan ketika mereka menyaring informasi (Carter 1983, 347). Sebaliknya, para teoritisi biologi juga akan menghadapi risiko error serupa ketika menafsirkan rekaman proses evolusi, kecuali mereka mau mengindahkan kendala astrofisika yang bekerja pada proses evolusi.
Kalau diperhatikan lebih mendalam kalimat di atas, kelihatan bahwa prinsip antropik tidak ingin memberi jawaban ontologis bagi pertanyaan “mengapa alam semesta menjadi demikian ?”, apalagi menunjuk tujuan dan rancangan yang mengagungkan antroposentrisme. Carter memang sempat menyebut bahwa ia memaksudkan prinsip antropik lemah sebagai klaim faktual yang benar secara informatif. Artinya bukan saja kemampuan prediktif pernyataan antropik dapat diuji, tetapi juga kemampuannya memberi penjelasan fisika engkap (Carter 1974, 295). Sayang klaim itu juga tidak terpenuhi apabila ia mengartikan penjelasan sebagai penyingkapan mekanisme (dalam bentuk hukum-hukum umum) yang memungkinkan kita mengerti secara ontik, mengapa kosmos seperti ini. Lebih dari itu, pengacuan ke prinsip antropik memberi jawaban bagi pertanyaan epistemologis,“mengapa” (kita mengamati) alam semesta seperti ini? Jawaban sederhana adalah karena itulah harga yang sesuai dengan syarat keberadaan kita.
Dari diktum yang dia berikan itu, Carter secara khusus memang ingin mengangkat fakta yang tidak mungkin dibantah yaitu bahwa pengamat berkesadaran sudah ada di dalam kosmos. Melalui prinsip antropik kuat Carter mengatakan bahwa kosmos harus menyediakan kondisi yang memungkinkan kehadiran pengamat di dalamnya. Di titik ini, Carter menjadikan fakta kepengamatan sebagai titik berangkat untuk memprakirakan harga a priori tetapan-tetapan dasar alam. Dalam pernyataan yang disampaikan Carter, kata harus menghubungkan secara niscaya keberadaan pengamat dengan (tetapan-tetapan dasar) kosmos. Tak ada pengertian pengamat merupakan penyebab dari harga tetapan dasar. Ini tidak berarti juga bahwa alam semesta secara teleologis merancang diri untuk itu, namun sekali kondisi-kondisi itu tersedia, manusia yang mengada dan manusia yang memahami adalah bagian tak terhindarkan dari alam semesta antropik yang berproses menuju ke penyadaran.
Dengan kata lain, kesan teleologis yang banyak diangkat selama ini muncul terutama karena prinsip yang berfungsi epistemologis ini, mau dimaknakan secara ontik. Lalu terjadilah pemaksaan struktur kausal tanpa menyertakan pemahaman mengenai konteks dan pengetahuan latar belakang yang terkait dengan pengajuan prinsip tersebut.
Fungsi utama prinsip antropik adalah sebagai prinsip heuristik yang memaksimalkan landasan rasional kosmolog ketika memilih model kosmologis sekaligus memperpendek langkah penyelidikan lanjutannya. Peran itu dijalankan bukan hanya dengan menunjuk ke model yang memadai secara empiris, tetapi juga yang sesuai dengan kondisi faktual keberadaan pengamat. Dengan demikian, jika prinsip ini diterapkan bersama teori-teori fisika yang relevan (sesuai yang diusulkan Carter atas penolakan ide Bondi), maka hasil penyelidikan kosmologi pun tak akan melampaui fakta kondisional sebagaimana diisyaratkan oleh keberadaan pengamat.
Itu sebabnya, tak ada pula keperluan metodologis untuk menerima atau menolak prinsip ini. Kosmologi dapat berjalan tanpa prinsip antropik. Hanya saja, penyelidikan tanpapelibatan prinsip antropik mengandung risiko perampatan yang melampaui fakta paling sukar dibantah: dalam kosmos sudah dan sedang berlangsung kepengamatan oleh mahkluk berkesadaran, sebagian di antaranya adalah makhluk cerdas.
Penutup dan Refleksi
Seperti halnya gambaran manusia yang sedang berjalan pada pengantar di atas, ia, pada suatu titik, butuh waktu untuk berhenti sejenak, memandang jejak langkah, menyadari diri, dan baru kemudian membangun diri ke langkah berikutnya. Begitu pula dengan kosmologi, pada suatu titik tertentu yang di mana model-model kosmologi mulai mengalami kesulitan untuk “menembus” alam semesta yang sangat unik dan rumit ini, ia perlu memandang sejenak jejak langkah dan membangun diri untuk langkah berikutnya.
Prinsip Antropik di sini, saya lihat sebagai sebuah titik pijak yang sangat baik bagi kosmologi dan terutama di dalamnya para kosmolog untuk pertama-tama “melihat” fakta yang paling langsung dan sederhana yaitu pengamat yang sudah ada dan mengamati alam semesta itu. Kosmologi yang berjalan selama ini seringkali disibukkan oleh “situasi luar” dengan langkah-langkah penyelidikan empiris dan akhirnya terbentur pada titik di mana tidak ada pengetahuan mengenai syarat awal alam semesta itu. Seruan yang ingin ditawarkan oleh prinsip antropik sebenarnya sangat sederhana yaitu pengetahuan tentang alam semesta hanya bisa diperoleh dengan memahami terlebih dulu syarat-syarat yang memungkinkan makhluk berpengetahuan itu ada dan syarat pemerolehan pengetahuan itu sendiri.
Maksudnya, para kosmolog pertama-tama harus mulai dengan kembali ke faktisitas keberadaan pengamat sadar yang untuk keberadaannya itu memerlukan lingkungan khusus di dalam alam semesta. Lingkungan khusus itu merupakan fungsi berbagai tetapan dasar alam dan parameter dasar alam semesta, yang harga dan interaksi satu dengan yang lainnya tertala sedemikian rupa dan kalau tidak, maka lingkungan khusus itu tidak pernah ada sehingga pengamat pun tidak ada juga. Lingkungan khusus yang dituntut ini akan menjadi acuan gamblang, yang akan mengkondisikan setiap model kosmologis yang mungkin untuk pengevolusian kehidupan dan kepengamatan. Kosmologi tidak membangun alam semesta yang melampaui syarat antropik keberadaannya. Jadi pertama-tama yang harus dipahami dalam kehadiran prinsip Antropik ini adalah usahanya untuk mengatasi kesulitan pembuatan model-model kosmologis dalam memecahkan misteri alam semesta dan mengajak untuk berefleksi ke “dalam”.
Dengan perkataan lain, Prinsip antropik adalah pernyataan mengenai anjuran untuk mengintegrasikan historisitas pengamat ke dalam setiap penyelidikan keilmuan sehingga ilmu pengetahuan, khususnya kosmologi, terbebaskan dari simpangan penafsiran yang akan berakibat kepada pembentukan model kosmologis yang sangat boleh jadi tidak sesuai lagi dengan fakta tak terbantahkan bahwa pengamat sadar, dalam hal ini manusia, sudah dan sedang mengamati alam semesta.
Memang jika tidak ada penjelasan dari Carter, orang akan dengan mudah terjebak pada rumusan jenaka diktum dari Carter sendiri pada unsur teleologis dari alam semesta. Namun syukurlah bahwa Carter dapat menjelaskan dengan baik sehingga ada penjernihan yang ingin mengarahkan prinsip antropik ini pada tujuan heuristik dan epistemologis. Di balik segala perdebatan yang masih berlangsung, ada sebuah kerinduan tertentu dari manusia untuk mencari makna atas segala hidup ini. Sebuah titik refleksi menjadi jembatan untuk memahami makna itu sendiri seperti halnya prinsip antropik yang ingin melihat ke dalam diri guna dapat memaknai segala yang akhirnya menimbulkan kekaguman luar biasa.
Daftar Pustaka
Barrow, J.D. dan F.J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle. Newyork: Oxford University Press, 1986 Diunduh dalam bentuk digital dari http://library.nu/docs/0R4VG5ZQIP/The%20Anthropic%20Cosmological%20Principle
Carter, Brandon. “The Large Number Coincidences and the Anthropic Principles” dalam
Confrontation of cosmological theories with observational data; Proceedings of the Symposium, Krakow, Poland, September 10-12, 1973. (A75-21826 08-90) Dordrecht, D. Reidel Publishing Co., 1974. Atau dapat diakses secara langsung di http://articles.adsabs.harvard.edu/full/1974IAUS...63..291C
Leahy, Louis. “Permulaan Alam Semesta dan Paham Penciptaan” dalam Diskursus Vol.6, No. 1 (April 2007) Leahy, Louis.Jika Sains Mencari Makna.
Yogyakarta: Kanisius, 2006. Pebles, P. J. E. Principles of Physical Cosmology. New Jersey: Princeton University Pre ,1993
Supelli, Karlina. “Kosmologi Awam, Ilmiah, dan Religius: Dari Kosmologi ke Dekosmologisasi” (Makalah untuk Diskusi Paramadina 17 April 1998 di Jakarta), diunduh dalam bentuk digital dari
http://arusbawah20.wordpress.com/2010/07/24/kosmologi-awam-ilmiah-dan-religius-dari-kosmologi-ke-dekosmologisasi/
Komentar
Posting Komentar