Kontingensi Alam Semesta Sebagai Ciptaan
Dimanakah kita? Apa yang mengelilingi keberadaan manusia dan seisinya? Dimanakah letak bumi? Apa sifat dari realitas? Lantas, manusia berada pada ruang yang seperti apa? Sederet pertanyaan tersebut telah hadir sejak manusia terlempar dan memiliki kesadaran untuk bertanya, manusia terjebak pada remang-remang keingintahuan yang menjadi kodrat keberadaannya. Ilmu pengetahuan datang dengan pelita pemahaman mengenai pengertian tentang apa sebenarnya realitas.
Manusia menyatakan keberadannya di dalam alam semesta. Sejarah mengungkap keberadaan alam semesta melalui berbagai sisi: agama, sains dan filsafat. Dari berbagai sisi mempunyai tafsirnya sendiri terhadap alam semesta. Agama menyatakan alam semesta bergerak kepada Tuhan. Sains dengan proyek rasional-empiris untuk menjelaskan awal dan akhir alam semesta. Filsafat menjadi alat pembedah atas keduanya. Di sinilah filsafat sebagai fungsi analitis suatu ilmu pengetahuan. Pada perkembangannya pun akan muncul kosmologi yang mempelajari struktur alam semesta.
Alam Semesta Dalam Berbagai Sudut Pandang
Mengapa alam semesta harus ada? Mengapa tidak tiada saja? Pertanyaan ini menentukan iman hingga sangat berbau teologis. Ketika kita menarik sampai titik terdalam dari kebermulaan semesta, maka akan hadir pencipta pertama. Mungkinkah sains menerima pernyataan teologis yang menerima kabar dari langit? Tidak selamanya seperti itu, salah satu ilmuwan seperti Stephen Hawking ingin memaparkan bahwa alam semesta bermula dari sebuah singularitas. Begitu pula dengan Russell, dalam Religion and Science ia menulis: “Apapun yang mungkin dicapai pengetahuan, harus dicapai dengan metode ilmiah; dan apa yang tidak diketahui sains, manusia tidak dapat mengetahuinya”. Konsekuensi logis dari zaman ilmiah inilah yang mempertanyakan benarkah Tuhan sebagai penyebab dari segala akibat. Maka yang terjadi adalah penggeseran pemahaman akan konsep Tuhan. Lebih lanjut sains akan melahirkan berbagai cabang-cabang ilmu, dimana kosmologi yang termasuk di dalamnya akan membahas dan menyelidiki perihal alam semesta.
Kosmologi merupakan cabang yang jarang dijamah oleh para pemikir. Tak dapat disangkal alam semesta terlampau luas untuk memadatkan hanya dalam satu bidang keilmuan. Dengan kompleksitasnya, alam semesta akan didekati dengan berbagai bidang keilmuan seperti fisika, kimia dan matematika. Kosmologi adalah ranah tersendiri yang mempelajari secara menyeluruh mengenai tatanan alam semesta.
Dalam sejarah kosmologi, bidang ini menghadapi dua kutub yang x, yakni sains dan agama. Yang pertama dengan corak rasional-empiris dan yang kedua bersifat meta-historis (melampaui sejarah). Pergulatan klasik yang sampai saat ini tetap menjadi bahan menarik untuk dipecahkan. Sejumlah kosmolog awal dalam tradisi Hebron, Kristen, dan Islam, alam semesta berawal pada saat yang terhingga. Artinya untuk menjelaskan eksistensi alam semesta memerlukan adanya penyebab pertama. Pertanyaan apakah alam semesta mempunyai permulaan atau tidak benar-benar menjadi pertanyaan metafisika atau teologi.
Berbagai filsuf Yunani sampai modern telah berspekulasi perihal keberadaan manusia di dalam alam semesta. Pemikir pada zaman Yunani Kuno yakni Heraclitus adalah filsuf yang percaya pada perubahan abadi: waktu melahirkan dan menghancurkan segalanya. “Benda-benda yang bisa dilihat, didengar, dan dipelajari, adalah hal yang sangat saya hargai”, di dalam pernyataan Heraclitus sarat dengan observasi ilmiah sebagai sumbernya. Berbeda dengan Plato, menurut Hawking (2014) dunia adalah sesuatu yang kasat mata, tak mungkin abadi, dan tentu diciptakan oleh Tuhan. Plato juga menjelaskan bahwa Tuhan menyusun kembali bahan yang telah ada sebelumnya. Seterusnya menurut Aristoteles alam semesta disebabkan oleh causa prima (sebab yang tak tersebabkan). Dalam bukunya On the Heavens, Aristoteles mengemukakan argumen bagus untuk meyakini bahwa bumi lebih merupakan bola bundar daripada sebuah lempengan datar. Argumen Aristoteles mengandung pernyataan filosofis dan astronomis. Lalu dalam tradisi Platonik, salah satunya Hegel menyebut Roh Absolut sebagai tujuan dari proses dialektis dari realitas.
Beda halnya dengan kalangan sains yang corak berfikirnya sangat rasional-empiris. Pada tahun 1929 Edwin Hubble melakukan sebuah observasi yang sangat penting, bahwa dari sudut manapun Anda melihat, bintang yang jauh akan terlihat bergerak menjauhi kita dengan kecepatan yang tinggi. Dengan kata lain, alam semesta mengembang. Alam semesta bersifat dinamis, hal ini berlawanan dengan konsep klasik yang menyatakan bahwa alam semesta statis dan abadi. Dalam teori klasik mengartikan bumi sebagai pusat alam semesta dan bintang-bintang mengelilingi bumi (geosentrisme). Cara pandang geosentrisme nanti akan diruntuhkan pertama kali oleh Copernicus dan dikembangkan oleh Galileo Galilei yang menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari (heliosentrisme) dengan mengorbankan darah, air mata, dan nyawa. Dengan demikian bumi bukanlah pusat alam semesta, melainkan hanya setitik planet dari miliaran bahkan triliunan planet di dalam alam semesta.
Dalam fisika modern sebagai lanjutan dari penemuan Hubble akan membawa pertanyaan tentang asal mula alam semesta ke dalam dunia sains. Observasi Hubble menyatakan bahwa ada dentuman besar (Big Bang) ketika alam semesta berada dalam ukuran yang sangat kecil tak terhingga dan pada kerapatan tak terhingga. Teori tersebut menunjukkan bahwa ruang bergantung pada materi. Alam semesta menurut Einstein, bukanlah semacam pulau yang terletak dalam ruang tak berhingga: ia berhingga tapi tak terbatas; di luarnya tidak terdapat ruang hampa. Dalam ketiadaan materi, alam semesta menyusut menjadi titik. Hal ini akan bertentangan dengan teori klasik yang menyatakan alam semesta tak berubah, sebuah permulaan waktu merupakan permulaan yang sudah ditetapkan di luar alam semesta, yakni Tuhan. Sebuah alam semesta yang mengembang tidak menyediakan tempat bagi keberadaan Sang Pencipta, namun dapat menempatkan batas kapan Sang Pencipta telah menyelesaikan pekerjaannya.
Hal ini menandakan dua jalur dalam memahami alam semesta, yakni dalam sisi trasendental yang memahami ada pencipta pertama, dan kedua adalah objek yang dipahami atau imanensi (materialisme). Yang pertama berciri idealisme dan yang kedua adalah objektivisme. Kedua aliran inilah yang menjadi dua jalan utama dalam memahami alam semesta. Pada sisi lain, manusia tetap berada dua pijakan epistemologis yaitu rasionalisme (subjek) dan empirisme (objek) bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kontingensi Alam Semesta
Kontingensi merupakan pertanyaan serius yang mengemuka ketika membahas alam semesta. Mengapa alam semesta Ada? Mengapa tiada saja? Penyelidikan pun akan lebih serius dan membutuhkan daya refleksi-filosofis untuk memahaminya. Setelah penyelidikan ilmiah maupun religius kini telah sampai pada tahap perenungan yang lebih tinggi, mencapai kedalaman realitas. Manusia selalu menghasrati kemurnian, atau dalam istilah Iman Kant sebagai “Das Ding An Sich” (pada benda itu sendiri). Tetapi menurut filsuf Jerman ini, manusia tidak akan pernah sampai pada hal-hal tersebut. Yang kita tahu hanyalah fenomena-fenomena, dan Das Ding An Sich ia sebut sebagai Noumena.
Terlepas dari polemik ontologis Immanuel Kant, alam semesta mempunyai struktur terdasar dari keberadaannya. Alam semesta pada saat ini hadir, yang berarti dia “Ada”. Sifat kontingensi dari alam semesta memilih Ada daripada ia Tidak ada. Keberadaan alam semesta bersifat potensial, tidak serta merta aktual dan sebuah produk jadi yang statis. Ke-ada-an alam semesta adalah proses menjadi. Artinya ia terus bergerak, tidak menjadi fakta statis yang tergeletak di dalam ruang hampa. Dengan demikian, alam semesta bermula, lantas apakah ia akan berakhir? Menjawab keberakhiran alam semesta sama saja mempertanyakan kapan Anda akan mati. Artinya tidak ada jawaban pasti untuk menjawabnya, yang ada hanyalah perkiraan-perkiraan melalui tanda gejala.
Dalam kontingensi, alam semesta terus bergerak. Apakah alam semesta abadi? Jika ia tidak ada, apa yang tersisa? Kemungkinan-kemungkinan akan selalu terbuka bagi masa depan. Artinya alam semesta pada sekian ratus tahun lagi tidak pasti apa yang akan terjadi, observasi ilmiah hanyalah sebuah dugaan-dugaan sementara. Contohnya saja awan mendung, meski dalam ramalan cuaca yang sangat ilmiah sekalipun, bisa saja tidak akan terjadi hujan. Inilah ketidakpastian masa depan. Konsekuensi filosofis dari sebuah proses berjalannya waktu.
Di dalam ketidakpastian diperlukan sikap mawas diri terhadap jebakan timpang sebelah dalam memandang alam semesta. Di satu sisi kita dituntut untuk membuka cakrawala sudut pandang tanpa terjatuh pada pemutlakan sebuah ‘tafsir’ terhadap realitas. Alam semesta bukanlah sebatas material semata, perlu dilacak secara mendalam peran dari seorang subjek penafsir atau pengamat. Jika memadatkan hanya satu-satunya pandangan maka akan terjatuh pada lubang gelap fanatisme dan reduksionisme. Alfred North Whithehead, seorang matematikawan dan ilmuwan terkemuka, meyakini bahwa teori lama mengenai materialisme sama sekali tidak bisa dipertahankan lagi. Dalam teorinya, jelas bahwa segenap warna, suara, dan sebagainya hanyalah keadaan-keadaan subjektif belaka dan bukan bagian dari alam. Apa yang masuk melalui mata dan telinga bukanlah warna atau suara, melainkan geombang-gelombang eter yang tak terlihat dan gelombang-gelombang yang tak terdengar. Dengan demikian peran subjek pengamat haruslah diberi perhatian pula, jika tidak maka akan terdapat ketimpangan.
Kontingensi adalah keadaan yang diliputi ketidakpastian dan berada di luar jangkauan. Dalam definisi tersebut jelas bahwa kontingensi mensyaratkan sebuah potensialitas atau kemungkinan-kemungkinan yang selalu terbuka. Artinya secara niscaya alam semesta berada pada gerak hylemorfisme, yang sangat erat dengan sebab-akibat dan masa lalu-masa depan. Sehingga memungkinkan alam semesta selalu berada pada proses menjadi, bukan sebuah produk.
Alam semesta bermula, lantas mengapa ia ada? Pada titik ini lebih memungkinkan memilih jalur alternatif antara dua aliran berseberangan, yakni teisme dan ateisme. Bagaimana untuk keluar tanpa terjebak dalam sebuah dogma sekaligus menghidupkan daya rasional kritis dalam mempertanyakan alam semesta yang menjadi corak kedua aliran tersebut. Menjelaskan konsep Tuhan sebagai dasar realitas secara rasional kritis bahkan memasuki goa-goa filosofis tidaklah mudah. Whitehead dalam Process and Reality berkata, “Setiap satuan aktual dapat dianalisis atas cara yang tidak berhingga jumlahnya. Ada cara analisis yang menonjolkan elemen-elemen abstrak dan ada pula yang menyingkap dimensi konkret satuan aktual”. Di sini dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa dalam analisis terdapat dua dimensi, yakni dimensi abstrak dan dimensi konkret aktual. Dua dimensi tersebut adalah corak teisme dan ateisme. Kedua dimensi tersebut saling tarik menarik sehingga memunculkan sebuah ketegangan dan benturan konsep.
Muhammad Iqbal seorang pemikir muslim kontemporer lebih percaya bahwa watak sejati dari realitas adalah spiritual. Iqbal menyampaikan bahwa sains bukanlah pandangan sistematis dan tunggal tentang realitas, sains hanya mampu meninjau secara sepotong-sepotong. Alam semesta ada karena terdapat sebuah kehendak kreatif, yakni Tuhan. Tuhan sebagai kehendak kreatif disimpulkan Iqbal sebagai Realitas Tertinggi, yang mana kehidupan kreatif yang terarah secara rasional. Iqbal berkata, “…fakta-fakta pengalaman membenarkan kesimpulan bahwa watak sejati realitas sesungguhnya bersifat spiritual, dan Dia harus dipahami sebagai ego.” Dengan demikian, hasil tinjauan intelek terhadap kehidupan nicaya bersifat panteistis. Panteistis merangkai pengertian bahwa Tuhan mengejewantah di dalam dan melalui alam semesta. Tetapi meski Iqbal menyampaikan bahwa sains melihat realitas hanyalah sepotong-potong, Iqbal tetap menyampaikan arti pentingnya sains untuk membedah struktur alam semesta, sehingga melalui sains manusia meperoleh data-data dan terus bergerak menuju proses abstraksi. Dengan sains, penyelidikan filosofis mempunyai dasar rasio-empiris yang kuat. Iqbal dalam konteks ini telah memberi jalan alternatif di antara dua jalur utama yang saling bersengketa, yakni teisme dan ateisme.
Rimba alam semesta memungkinkan adanya pencarian terus menerus. Hal yang akan datang di depan sana adalah ketidakpastian, dengan kata lain adalah misteri. Muhammad Al-Fayyadl dalam Filsafat Negasi berkata, “Timbunan fakta-fakta melindungi realitas dari penyingkapan terhadapnya. Timbunan realitas melindungi yang telah ada dari kesadaran kita akan eksistensinya…Di dalam yang telah ada, kehidupan berlangsung dengan jaminan ontologisnya, bahwa seseorang ada untuk yang telah ada.” Dari sini dapat kita ketahui bahwa fakta-fakta realitas akan melindungi sebuah penyingkapan. Artinya, alam semesta akan terus dalam tahap pencarian-pencarian. Pemutlakan dan memastikan sesuatu akan menyebabkan kematian tafsir dan pada akhirnya akan menjadi kematian subjek dalam arus alam semesta yang terus bergerak. Sebagaimana pendapat Al-Fayyadl, manusia ada untuk yang telah ada.
Alam Semesta Sebagai Proses Kebahasaan
Dengan observasi ilmiah dengan berbagai hipotesis, sains berkembang sangat cepat melampaui berbagai bidang keilmuan, khususnya bidang-bidang ilmu sosial. Pada periode awal sains sangat erat dengan filsafat yang dianutnya, yakni sains yang bercorak kosmologis atau antroposentris. Pada gerak kemajuannya, sains menemukan sesuatu yang benar-benar belum diketahui dan terklasifikasikan. Sehingga manusia menggolongkan dalam berbagai spesies dan genusnya masing-masing. Hal inilah menandakan bahwa sains pun merangsek dalam proses kebahasaan. Kebahasaan dalam konteks ini adalah proses pemberian tanda-penanda. Tidak luput pula bahwa kosmologi pun mencari jejak-jejak alam semesta dan memberi sebuah nama. Penemuan satu ke penemuan yang lain mensyaratkan sebuah proses kebahasaan.
Pada abad 20, filsafat telah memasuki ruang-ruang kebahasaan. Asumsinya adalah bahwa proses pemahaman dan penafsiran akan sesuatu dimungkinkan jika ada sebuah prasangka, sehingga tak ada pemahaman yang netral dan murni. Mungkinkah seorang Einstein menemukan sebuah teori realitivitas tanpa sebuah prasangka? Jawabannya adalah tidak bisa. Ia memulai dari sebuah asumsi-asumsi yang berangkat dari dalam subjek. Positivisme adalah corak sains, pada sejarah filsafat Yunani sampai pada abad ke-19 hanya bergerak antara pertentangan subjek dan objek. Pada abad ke-20 filsafat mulai mempertanyakan sesuatu di antara subjek dan objek, yakni bahasa. Dalam prinsip positivisme adalah what you see is what you get atau seeing is believing. Sedangkan dalam proses kebahasaan sebaliknya, believing is seeing, bahwa apa yang kita percayai akan membuat kita melihat. Dalam cognitive science, manusia merupakan makhluk kreatif dan otonom, sedang binatang dan tumbuhan aspek kreatifnya bertahap, sementara benda bersifat reaktif dan dependen. Dengan sifat manusia tersebut, memungkinkan sebuah proses kebahasaan dalam menyadari keberadaannya di dalam alam semesta.
Seperti yang telah diketahui, Alam semesta selalu mendahului manusia. Ia tercipta sebelum kesadaran hadir dalam diri manusia. Artinya tanpa fisika pun gravitasi telah ada mendahului manusia, tanpa fisika galaksi telah tercipta. Tetapi, manusia hadir memberi penanda atas kehadiran alam semesta dengan memberi nama. Alam semesta disadari dengan pemberian bahasa. Manusia melewati tahap penamaan yang menandakan kemenangan bahasa atas realitas, tanpa kesadaran pun alam semesta hanya tergeletak tanpa makna yang terus bergerak. Manusia dengan akal budi terus bergerak mencari sesuatu yang belum ternamai.
Manusia tidaklah tepat terjebak pada dogmatisme yang memutlakan sebuah pernyataan-pernyataan tanpa refleksi kritis. Sains patut diberi ruang luas untuk membedah alam semesta, sehingga manusia tidak gampang terkena penyakit dogmatis. Sains merupakan sejarah penemuan, pemberian tanda-tanda kepada sesuatu yang belum ternamai dan terklasifikasikan. Sains berusaha mencari jawaban atas pertanyaan umat manusia. Dengan pencarian terus menerus, sains membuka tabir alam semesta hingga berdarah-darah.
Komentar
Posting Komentar