Negara Dalam Arus Sejarah Manusia
Sejak pertama kali manusia berevolusi dan berkembang di daerah Afrika, sejarah dunia telah mengalami gerak yang amat berbeda. Terhitung ketika homo sapiens berevolusi sedemikian panjang di Afrika, lantas kapan negara tercipta? Apa yang menyebabkan terbentuknya negara ketika permulaannya? Sehingga dari arus sejarah panjang berabad-abad mengantarkan homo sapiens memasuki abad 21 yang penuh dengan gegap gempita teknologi. Bertitik tolak dari pertanyaan inilah kiranya kita dapat menjamah alur negara dalam sengketa sejarah yang begitu panjang. (Bukan brti saya meyakini evolusi y)
Bagaimana Semuanya Bermula?
Pada mulanya evolusi nenek moyang kita merupakan pemburu-pengumpul. Berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya, tentu untuk memburu hewan atau tumbuhan untuk dikonsumsi. Mereka berpindah tempat karena dipengaruhi perubahan musim, migrasi tahunan hewan, dan musim tumbuh tumbuhan. Pada permulaan ini, manusia terbatas pada suatu kelompok saja, tidak menetap dan tidak mendomestikasi hewan ternak sehingga menyebabkan teknologi sangat sulit untuk berkembang.
Revolusi pertama pada diri manusia adalah revolusi kognitif. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Pertama-pertama para pemburu-pengumpul yang terdiri dari beberapa anggota mengambil peran masing-masing dalam melakukan perburuan dengan menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan sesamanya; dari bahasa tubuh itulah manusia dapat menyampaikan pesan kepada satu sama lain. Revolusi kognitif terjadi karena komunikasi dan penyampaian informasi dari satu orang ke orang lainnya.
Revolusi yang kedua adalah revolusi pertanian sekitar 10.000 tahun yang lalu. Pada masa-masa ini, homo sapiens mulai menetap dan mengembangkan sistem agrikultur. Sejak revolusi kognitif, homo sapiens mulai mendomestikasi berbagai hewan ternak maupun tumbuhan. Para cendikiawan menyatakan bahwa revolusi pertanian adalah lompatan jauh ke depan bagi umat manusia. Sebuah permulaan kemajuan besar-besaran otak manusia.
Pada revolusi pertanian, homo sapiens mulai menetap; dari sinilah manusia mulai mengembangkan dan melakukan abstraksi sana-sini; mendirikan pemukiman tersentralisasi dan permanen. Di zaman ini, hanya sedikit homo sapiens yang tetap menjadi pemburu-pengumpul. Sejak menetapnya manusia, penyakit epidemi bermunculan, dari situlah manusia mulai mengembangkan struktur-struktur politis berskala kecil. Kebijakan-kebijakan untuk mengatasi berbagai macam permasalahan dalam suatu kelompok seperti bagaimana caranya mencukupi makanan dalam kelompoknya sendiri, mengembangkan teknologi sederhana seperti gerabah untuk mengangkut hasil pertanian. Meski sederhana, tapi penemuan ini membentuk sejarah manusia sedemikian cepat dan pesat. Teknologi, ketika pertama kali tercipta maka membuatnya bergerak melampaui teknologi pada permulaannya, teknologi menjadi sangat cepat geraknya, ketika dipadukan dengan inovasi yang dimiliki manusia.
Pada revolusi pertanian, petani mengandalkan hujan untuk mengairi sawah dan ladang. Kedatangan hujan mensyaratkan petani untuk menerawang ke arah langit, angin, dan menyipitkan mata. Atas penglihatan itu, homosapiens mulai bertanya dalam benaknya; apa itu awan? Akankah hujan tiba pada waktunya? Cukupkah hujan nanti untuk mengairi ladang? Sejak pertanyaan ini, kebijakan-kebijakan sederhana hasil pengamatan manusia mulai bermunculan. Secara tidak langsung, hal tersebut menghasilkan sistem politik pertama sehingga kuil, istana, benteng, dan monumen tercipta.
Tatanan Khayal Umat Manusia
Sejak revolusi pertanian, kebijakan-kebijakan tercipta dan tersentralisasi untuk mengatur sistem-sistem sosial. Penduduk terbesar kala itu sekitar 8500 SM berada di daerah Bulan Sabit Subur atau Mesopotamia. Dan masing-masing menguasai berbagai desa di sekitarnya. Hal itu mensyaratkan kerja sama antar individu di dalam naungan sistem politik yang tersentralisasi.
Apa yang memungkinkan negara tercipta? Kerja sama mensyaratkan sebuah tatanan khayal atau imajinasi kolektif yang sama. Sebuah norma-norma sosial yang disepakati dan kepercayaan atas mitos bersama. Contohnya adalah undang-undang Hammurabi yang berasal kira-kira sekitar 1776 SM, dan berperan sebagai pedoman kerja bagi ratusan ribu orang Babilonia kuno yang terdiri dari 300 putusan.
Tatanan khayal tersebut tetap sangat kental hingga abad ini. Ambil saja contoh, Pancasila bukanlah sebuah benda ataupun sesuatu material kebendaan, melainkan sistem khayal yang disepakati dan menjadi ciri bangsa Indonesia. Dari tatanan khayal inilah, sejak revolusi kognitif dan revolusi pertanian, negara menjadi kuat dan gagah, dikarenakan tatanan khayal, ataupun mitos yang percayai bersama. Dampaknya sangat besar bagi sejarah, yaitu manusia dapat bekerja sama dalam suatu imperium secara efektif dan efisien.
Tatanan khayal tersebut tertanam di dunia material, walaupun hanya ada di dalam konstruksi kesadaran manusia. Singkatnya momen abstraksi yang dimiliki oleh manusia. Tatanan khayal pulalah yang mengatur hasrat kita. Meski banyak yang menyangkal hal tersebut karena begitu abstrak dan khayalan, pada nyatanya kita sebagai manusia selalu terlahir dalam tatanan khayal yang telah tercipta sebelumnya. Seperti ideologi, norma-norma sosial, kepercayaan, dan lain sebagainya. Dan yang terakhir, tatanan khayal tersebut bersifat inter-subjektif. Artinya, tatanan khayal hanya dapat terjadi melalui hubungan sesama manusia yang memiliki kesadaran.
Dampak yang sangat besar bagi sejarah adalah penemuan tulisan sejak menetapnya homo sapiens dan mengembangkan teknologi sederhana. Ketika masyarakat teramat kompleks mulai bermunculan sejak revolusi pertanian, tedapat satu jenis informasi yang sangat vital, yakni angka-angka. Para pemburu-pengumpul tidak perlu mengingat berapa banyak buah yang ia kumpulkan maka otak manusia tidak beradaptasi untuk menyimpan dan mengolah angka-angka. Berbeda halnya dengan mempertahankan sebuah kerajaan atau imperium, peran angka-angka sangatlah vital dalam mengatur kebijakan-kebijakan yang diambil.
Pada zaman ini pulalah, tulisan ditemukan sekitar 3400 – 3000 SM. Pada mulanya, tulisan ditemukan di daerah Mesopotamia, seperti yang telah disebutkan di atas. Mesopotamia adalah wilayah dengan penduduk paling besar kala itu. Sistem yang tersentralisasi mempunyai dampak yang besar bagi gerak dan arus sejarah manusia. Tulisan pertama memakai tanah lempung sebagai media tulis, berisi angka-angka sederhana untuk menghitung hasil domestikasi hewan maupun tumbuhan.
Pada tahap selanjutnya, orang-orang Mesopotamia akhirnya mulai menuliskan hal-hal selain angka-angka. Sekitar 3000- 2500 SM, para raja dan elit-elit politik kala itu memakai tulisan paku untuk menyampaikan maklumat. Langkah teramat penting berikutnya terjadi sekitar abad ke 9 M, ketika suatu aksara parsial baru diciptakan. Aksara ini terdiri dari sepuluh tanda, yang melambangkan angka 0 sampai 9. Penemuan angka-angka inilah cikal bakal statistik yang akan berpengaruh dalam mengambil kebijakan pada abad modern.
Penemuan sistem tulisan telah mengantarkan manusia meskipun disadari atau tidak, menuju masa depan lebih cepat. Manusia mulai menemukan tempat untuk menyimpan informasi di luar sistem limbik untuk mengingat sesuatu. Tulisan menjadi titik vital perkembangan manusia untuk memikirkan dan membangun dunia. Dari itu pulalah, manusia mulai mengembangkan perenungan filosofis, sains, ilmu sosial, dan lain sebagainya. Tak terkira kecepatan sejarah bergerak ketika tulisan ditemukan; dengannya, ideologi maupun sistem negara tercipta berkat hasil penyerapan maupun hasil abstraksi umat manusia.
Setelahnya Bagaimana Sejarah Bergerak?
Jika mengikuti G.W.F Hegel, sejarah begerak secara dialektis antara roh subjektif dan roh objektif. Pertentangan tersebut akan memungkinkan sejarah untuk bergerak, dalam tesis sudah terkandung antitesis, pertentangan antara tesis dan antitesis, jika digabungkan akan menjadi sintesis atau tesis baru. Pertentangan ini akan mencapai puncaknya pada roh absolut. Dalam gerak perkembangannya, sejarah mempunyai suatu rasionalitas, menggunakan bahasa Hegel yakni rasionalitas-sejarah. Di balik sejarah setiap zaman, ada kesadaran pembentuk di belakangnya. Di sinilah titik idealisme Hegel, tidak heran jika ia dikatakan sebagai puncak Platonis, dan hemat penulis hal itu adalah justifikasi berlebihan kepada Hegel.
Meski demikian Hegel berpengaruh sangat besar dalam filsafat, khususnya dalam pemikirannya tentang sejarah. Nanti, Karl Marx berhutang budi besar atas konsep dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach. Marx membuang bau-bau idealisme Hegel lalu menggantinya dengan sistem materialisme a la Feurbach. Sejarah menurutnya, pertentangan antar kelas, singkatnya sebuah konsep materialisme dialektis, pertentangan antara kaum borjuis dan kaum proletar. Pertentangan tersebutlah yang menggerakkan sejarah, sistem produksi telah menyebabkan sejarah bergerak dalam pertentangan-pertentangan. Dengan demikian, perang kelas tersebut akan dimenangkan oleh kaum buruh atau proletar, jika dan hanya jika mereka bersatu.
Bagaimana negara menjadi bagian penggerak sejarah menjadi memungkinkan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita menapaki wilayah yang datang dari masa lalu ketika negara berbentuk sistem imperium atau kerajaan. Sejarah dunia, tidak akan mungkin bergerak tanpa sebuah sistem filsafat, ideologi ekonomi-politik; yang mendominasi paradigma pada masa itu. Hal itu, seperti keniscayaan yang membentuk gerak sejarah, meski tidak selalu dapat teramalkan pola-pola di belakangnya.
Imperium berdiri sekitar 800-700 SM. Imperium memiliki dua ciri penting, yaitu memerintah beberapa suku bangsa yang berbeda. Yang kedua, bersifat lentur dan dipenuhi nafsu yang tak terbatas. Imperium merupakan bentuk organisasi politik paling umum selama 2500 tahun belakangan. Ciri khas imperium adalah penyerangan dan penaklukan wilayah-wilayah yang bisa dijangkau oleh suatu imperium. Ambil saja contoh Romawi yang mengekspansi Yunani dan wilayah sekitarnya untuk menjadi penguasa besar atas beberapa wilayah-wilayah. Kosa kata imperium menjadi cacian politik besar-besaran yang menjadi biang keladi dehumanisasi, peperangan, penindasan, dan stigma lainnya. Sejak fasisme Nazi yang dipelopori oleh Hitler membuat Perang Dunia II pecah, istilah imperium menjadi sebuah kosakata cacian. Kosa kata itu adalah imprealisme, penaklukan besar-besaran atas sebuah wilayah.
Semenjak negara menjadi sebuah alat untuk memperkaya diri melalui ekspansi ke berbagai wilayah, negara tidak lagi menjadi wadah masyarakat untuk merasa aman dan nyaman, melainkan pengurasan habis-habisan atas wilayah lain di berbagai wilayah. Perang menjadi hal yang lumrah bahkan sampai abad 19. Sebetulnya imperium tidak pernah berakhir, ia hanya berubah bentuk sedemikian rupa mengikuti perkembangan teknologi. Apa sebab? Teknologi merupakan anak-anak peperangan, teknologi dibuat sedemikian rupa untuk menaklukan berbagai wilayah. Ambil saja contoh bedil, senjata itu dibuat karena merasa was-was akan ada serbuan dari bangsa yang mereka sebut “bangsa barbar”, primitif, dan justifikasi lainnya. Keberhasilan teknologi pembuatan senjata bedil itu membuat sejarah bergerak sedemikian mengenaskan, ekspansi Pizzaro ke daerah Peru hanya membutuhkan pasukan di bawah 100 orang untuk mengalahkan ribuan Bangsa Aztek yang kala itu dipimpin oleh Attahualpa, hanya dengan bedil. Secara tidak langsung kekuasaan Eropa memulai babak baru sebagai penguasa dunia. Dan terdapat banyak sekali contoh lainnya bahwa teknologi diciptakan untuk mendukung sebuah ekspansi teritorial.
Pola tersebut tetap berlanjut hingga pada abad-abad pertengahan dengan perubahan sana-sini, yang disebut sebagai feodalisme, atau para penguasa tanah. Tuan-tuan tanah menjadi penguasa yang bermitra dengan pemerintah setempat. Feodalisme sangat tampak dibangsa kita berkat kolonialisme Belanda. Para penguasa tanah menjalin mitra untuk keuntungannya sendiri dengan mengorbankan para buruh untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi dirinya dan para kolonialis yang menjajah. Dengan demikian, negara menjadi alat penindas besar-besaran, genosida terjadi dimana-mana hanya dengan alasan keuntungan bangsa Eropa, dan para bangsawan lokal yang mendukung sistem feodal.
Pertentangan tersebut terjadi di dalam tubuh feodal itu sendiri, momentum penguasaan atas tanah melahirkan protes dari kalangan pengusaha waktu itu yang dipelopori Napoleon Bonaparte. Revolusi pecah, yang dinamakan sebagai revolusi Perancis. Monarki absolut tersebut telah memerintah Perancis selama berabad-abad, ide-ide monarki, aristokrasi, dan Gereja Katolik diruntuhkan dan digantikan dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite. Pada dasarnya, hal baru tersebut ingin mengangkat kebebasan yang selama ini terkekang karena ide-ide monarki. Revolusi akan menyebabkan kelahiran ideologi baru, yaitu liberalisme. Meski demikian, sistem feodal tidak bersih seutuhnya. Sisa-sisa feodal ketika dikawinkan dengan liberalisme akan melahirkan kapitalisme.
Negara menjadi alat-alat korporasi dan penanaman modal sana-sini dengan dalih kemajuan suatu bangsa. Penjajahan atas dunia ketiga terjadi berkat alasan sederhana orang Eropa, “ingin memajukan bangsa timur”. Pada kenyataannya, alih-alih ingin memajukan timur, bangsa Eropa melakukan ekspansi mati-matian dengan mengeruk sumber daya alam hanya untuk kekayaaan dan kepentingan perang bangsa Eropa. Dunia ketiga menjadi ladang penindasan hanya untuk memperkaya bangsa Eropa. Negara telah menjadi monster menyeramkan, sebuah alat untuk menindas rakyatnya sendiri maupun bangsa lainnya. Alhasil, abad modern semenjak revolusi industri menyebabkan kapitalisme menjadi ideologi baru bagi bangsa-bangsa Eropa, sebuah momen nasionalisme melampaui batas.
Kapitalisme akan menyebabkan pasar bebas yang terjadi pada abad ini. Perubahan-perubahan dalam diri kapitalisme sudah sedemikian cepat. Terhitung sejak revolusi Perancis hingga akhir ini, dengan berbagai perang darah maupun perang dingin sejakruntuhnya tembok Berlin, membuat sejarah manusia begerak sedemikian rupa.
Lantas pada abad ini negara berada pada posisi di sebelah mana? Dengan perjalanan yang begitu panjang, tidak bisa kita ringkas secara padat hanya dalam 10-20 halaman. Butuh kerja panjang dan menyeluruh untuk menilik negara dalam pusaran arus sejarah. Meringkas sejarah umat manusia tidak cukup hanya melihat narasi-narasi besarnya saja, terdapat narasi-narasi kecil pinggiran yang membentuk sejarah berbelok sedemikian rupa.
Internet pada abad 19 tidak terlalu diperhitungkan, narasi kecil seperti internet yang seringkali terpinggirkan nyatanya membentuk dan mendominasi pada abad 21. Tidak dapat disangkal pula sejarah-sejarah sebelumnya dibentuk pula oleh narasi-narasi kecil yang membelokkan sejarah. Dan hal tersebutlah menjadi tugas yang begitu panjang untuk merinci satu persatu kejadian penting yang membentuk sejarah umat manusia.
Pada abad posmodern seperti saat ini, negara telah terhubung dengan negara-negara lain berkat teknologi yang terbarukan. Dengan sistem perekonomian pasar bebas yang begitu kental, negara satu dengan negara lainnya menjalin kerja sama untuk membentuk hubungan diplomatik. Sejarah telah mengajarkan bahwa setiap zaman manusia selalu saja berada dalam kubangan peperangan tanpa henti. Jika teknologi terdahulu digunakan untuk peperangan, apakah hal tersebut digunakan pula pada abad ini? Jawabannya iya. Kita sedang berada pada suatu peperangan data dan infromasi. Negara yang terlalu lelet dalam data maka akan mudah ditumbangkan oleh negara lain yang cukup banyak mempunyai data. Tidak ada darah memang, tetapi perang ekonomi pasar-bebas yang menyebabkan terganggunya stabilitas di dalam negara yang sedang berperang, bahkan negara-negara yang masih dalam tahap berkembang.
Kerja sama dengan negara lain mensyaratkan seberapa besar keuntungan tersebut bagi negara yang bersangkutan. Penanaman modal kepada negara lain menjadi keniscayaan bagi suatu negara agar tidak tumbang di dalam pusaran pasar bebas. Siapa yang dirugikan? Tentu sekali lagi kalangan bawah dan lumpun proletariat. Penanaman modal sana-sini menyebabkan pengerukan besar-besaran sumber daya yang dimiliki suatu negara. Perampasan tanah yang disebabkan oleh kapitalisme global menjadi keniscayaan untuk mengembangkan keuntungan yang diperoleh dari surplus nilai lebih atas penanaman modal ke negara lain.
Kapitalisme global atau yang dapat dikatakan neo-liberalisme, ekspansi yang dilakukan tidak dengan perang darah yang terjadi seperti abad-abad sebelumnya. Tetapi dengan cara olahan data dan penggunaan statistik yang dikontrol melalui negaranya masing-masing. Ekspansi ekonomi tidak lagi membutuhkan tenaga ahli yang harus menduduki sebuah negara yang diekspansi melainkan cukup dengan layar di depan mata. Sangat berbeda dengan abad-abad sebelum adanya internet yang menghubungkan dunia menjadi satu ruang yang sama. Seperti kolonialisme abad 18, yang harus mengirim beberapa pemimpin untuk menduduki jabatan di negara jajahan. Alih-alih ingin mensejahterakan rakyatnya; pada abad 21, banyak lingkungan hidup dirampas hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Kerusakan ekologi adalah dampak yang sangat bisa dirasakan dari hasil ekspansi besar-besaran dari perjalanan sejarah umat manusia.
Negara Masih Memungkinkankah Dia?
Jika dilihat dari sejarahnya, memang negara hadir tidak seperti yang dibayangkan. Bahkan, membuat manusia mengalami puncak keserakahan. Bukankah jika demikian lebih baik negara tidak ada? Negara hanya menjadi alat hegemoni bagi masyarakat di dalamnya. Dalam perspektif anarkisme, lebih baik negara dihilangkan atau tidak ada sama sekali. Pandangan ini, sangat masuk akal mengingat negara hanya menjadi sarana penindasan bagi rakyat. Dan rakyat bisa berdiri secara otonom terbebas dari kekangan negara. Hal ini, sangat berbeda dengan pandangan komunisme yang masih mensetujui adanya negara yang berlandaskan pada sistem kediktatoran proletariat yang dipilih dari rakyat itu sendiri.
Saya sepakat dengan pandangan anarkisme, jika menolak negara karena sebagai sarana menindas rakyat. Tetapi, negara di dalam dirinya sendiri tetap diperlukan. Dalam arti bahwa, negara menjadi sarana untuk memperkuat kekuatan masa rakyat, dengan kebebasan yang terikat. Tidak seperti pasar bebas yang melepas diri seutuhnya dari sistem pemerintahan dan mengatur ekonominya sendiri. Rakyat secara komunal dapat mensejahterakan dirinya melalui pengaturan yang disepakati dari bawah. Tidak seperti sistem yang diatur oleh atasan yang seringkali tidak dapat menyuarakan, apa yang menjadi keresahan rakyat.
Negara dalam arti ini tidak mengekang sekuat-kuatnya, bukan pula demokrasi yang pada intinya tetap mewarisi hal ikhwal pemikiran kolonial. Rakyat bebas bersuara dengan keresahan masing-masing, diterima seutuhnya untuk mensejahterkan dirinya sendiri. Kekuasaan dikembalikan kepada rakyat, tidak ada pengekangan dari atas. Semua berjalan secara horizontal. Ambil saja contoh, jika ada suatu kebutuhan dari suatu komunitas atau negara maka kebutuhan yang disepakati bersama tersebut dikerjakan bersama tanpa paksaan. Dan setiap hasil kerjaan akan dibayar sesuai, apa yang menjadi dasar pokok dari kebutuhan kesehariannya. Dan tentu, tanpa meninggalkan penemuan teknologi terbarukan.
Di sisi lain, ada kegamangan luar biasa, momen dilematis yang sangat dahsyat. Jika suatu negara pada saat ini menarik diri dari persaingan bebas dengan negara-negara lain, mungkinkankah ia bertahan? Tidak, ia akan mengalami inflasi besar-besaran, yang menyebabkan bunuh diri negara itu sendiri. Persis di situ pula jika terbawa arus pasar bebas yang sedemikian rupa, akan membuat rakyat menderita dan sengsara. Jalan alternatifnya adalah di mana kita sedang berpijak, kepada rakyat atau menjadi penjilat? Semuanya tergantung dari mereka yang mempunyai pengaruh dalam silat sejarah. Hal tersebut memungkinkan jika seluruh kalangan bawah dan rakyat yang terpinggirkan bersatu seluruhnya untuk menumbangkan sistem kapitalisme abad ini. Meski bukan satu-satunya cara dan perlu usaha yang begitu keras, hal tersebut tidak ada salahnya untuk dicoba dan dilakukan.
Apa yang dapat disimpulkan? Jika bukan kesimpulan yang selalu retak dan tertangguhkan terus menerus. Kesimpulan telah, dan selalu berada di tangan pembaca. Tentu teks ini, tidak membiarkan saya berhenti pada kesimpulan, selalu saja ada yang tertinggal, seperti pepatah, “tidak ada gading yang tak retak”, teks ini membuat dan mengharuskan saya untuk terus mencari apa dan bagaimana alam semesta dan manusia itu sebenarnya. Mustahil untuk mengabsolutkan suatu kesimpulan, kecuali kesimpulan yang terus menunda diri. Saya ingin pembaca tidak berhenti di sini, di detik ini. Semesta raya tidak menginginkan kita berhenti untuk terus memahaminya dengan seluruh isinya, jika berhenti, maka pada hakikatnya kita telah mati. Meminjam istilah Derrida, “Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya.”
Komentar
Posting Komentar