Manusia dan Sains: Perjalanan dalam Meraih Kesejahteraan
Manusia, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban
Ernst Cassirer, seorang filsuf Neo-Kantianisme memandang manusia sebagai animal symbolicum—hewan simbolis—yaitu pemberi makna terhadap dunia melalui simbol dan ekspresi untuk menjelaskan pengalaman hidupnya (Friedman, 2004). Ketika simbol-simbol yang kompleks dan bermakna diaplikasikan dalam kesehariannya, manusia mulai menapaki kemajuan kehidupan yang kemudian melahirkan peradaban. Menarik bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata “peradaban” sebagai “kemajuan lahir batin” (KBBI Daring, 2016). Hal ini sejalan dengan semangat etnosentris untuk menggambarkan peradaban (civilization) bukan hanya dari sudut pandang kependudukan—civilization—yang berakar dari bahasa Latin “civitas”—berarti “kota” atau “komunitas” (Purcell, 2015). Dengan demikian, sudah seyogyanya pembahasan mengenai peradaban manusia melibatkan pencapaian dan kemajuan yang telah diraih sejak manusia mengintegrasikan simbol-simbol dalam interaksi sehari-hari.
Peradaban dapat dijelaskan sebagai suatu komunitas kompleks manusia yang berdiam pada lokasi tertentu dengan serangkaian hal penunjang kehidupan seperti sistem moral dan legal; teknologi yang berkembang untuk mendukung komunikasi dan produksi; pemerintahan yang melindungi hak tiap individu; aktivitas untuk memastikan ketersediaan pangan; serta kebudayaan (Sulaiman, 2016). Berbagai kegiatan penyokong hidup ini membutuhkan keterampilan yang diperoleh melalui pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu untuk menunjang kemajuan teknologi dan kelancaran komunikasi adalah hal yang vital bagi suatu peradaban. Dinamika kemajuan peradaban dapat ditilik melalui penemuan-penemuan yang mendukung keberlangsungan hidup, seperti perkakas berupa alat batu dari masa prasejarah yang pertama kali digunakan oleh spesies Homo habilis dua juta tahun lalu sebagai titik tolak hingga manusia tiba pada era peradaban pertama dan tertua di Sumeria, meskipun pada masa itu teknologi mampu berkembang tanpa dukungan ilmu pengetahuan yang terstruktur (Buchanan, 2020; National Geographic Society; 2018, Pobiner; 2016).
Ilmu pengetahuan pada awalnya berkembang untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam bermasyarakat bahkan sebelum ditemukannya sistem perekaman melalui tulisan, misalnya dalam agrikultur dan irigasi, konstruksi, serta untuk kepentingan keagamaan melalui astrologi (Williams, 2018). Bahasa tulis diketahui pertama kali berkembang di Mesopotamia pada 3100 sebelum Masehi menggunakan aksara cuneiform dalam sistem pencatatan keuangan, pajak, dan hukum kriminal (National Geographic Society, 2018). Peradaban Islam pernah mengalami masa emas pada tahun 770 dengan memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan melalui sistem penomoran desimal yang lebih praktis daripada penomoran Romawi. Sistem penomoran ini melahirkan kemajuan pesat dalam bidang matematika melalui aljabar, trigonometri, dan geometri (Renima dkk., 2016).
Meskipun berbagai peradaban mengalami kemajuan, ilmu pengetahuan hanya mengalami kematangan di peradaban Barat sains modern yang kita kenal saat ini berakar dari perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa pada tahun 1175 hingga 1500 (Grant, 1997). Periode ini dilanjutkan dengan masa Revolusi Sains (1500-1750) dan positivisme ilmu pengetahuan yang melahirkan teori-teori dari tokoh seperti Galileo, Descartes, dan Newton; dengan kontribusinya dalam ranah mekanika, fisika, dan kalkulus (Okasha, 2002). Pada abad ke-18, Eropa memasuki Abad Pencerahan, suatu abad reorientasi radikal yang memengaruhi pemikiran dalam bidang politik, filsafat, komunikasi, dan juga sains—pada masa ini masih disebut sebagai “filsafat alam” (White, 2018). Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan ini memunculkan berbagai aliran pemikiran dan metodologi pemerolehan pengetahuan. Kondisi ini memberikan wadah bagi filsafat ilmu untuk menjalankan fungsi utamanya dalam menganalisis metode yang digunakan dalam sains, juga sebagai kritik untuk memastikan ilmu pengetahuan tetap berada pada jalurnya: sebagai alat untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia.
Problematika Emansipasi Ilmu Pengetahuan
Dengan berbagai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, peradaban mulai melangkah ke era modern. Berbagai penemuan memberikan kemudahan dan otomatisasi bagi manusia yang melahirkan Revolusi Industri yang berkembang pada pertengahan abad ke-18 hingga ke-19. Terbukanya kesempatan bagi sains dalam memperoleh dukungan masyarakat untuk memajukan ilmu pengetahuan melalui industri memberi kesan seolah sains menyisihkan porsi khusus bagi proses produksi. Hal ini terlihat dari menjamurnya politeknik, pendanaan pemerintah terhadap berbagai penelitian untuk mempercepat perkembangan sains yang mendukung perkembangan industri, juga pemberian gelar kehormatan bagi peneliti yang berkontribusi (Williams, 2018).
Kemajuan teknologi yang mempercepat proses dan meningkatkan kuantitas produksi menguntungkan secara ekonomi bagi para pengusaha dan konsumen dari kelas menengah-atas, tetapi tidak bagi kaum pekerja. Kondisi kerja yang tercipta karena mekanisasi memaksa pekerja pabrik berada pada situasi yang melelahkan dan membahayakan dengan bayaran yang minim (LaMorte, 2017). Hal yang mengenaskan ini terus berlanjut hingga akhir abad ke-19; para tenaga kerja industri di Inggris Raya dan Amerika Serikat baru mulai mendapatkan perlindungan hukum pada awal abad ke-20 (National Geographic Society, 2020).
Di luar industrialisasi, abad ke-20 merupakan masa yang penuh gejolak karena dampak Perang Dunia I dan II, sehingga kondisi ini memberikan kesengsaraan bagi masyarakat yang terdampak. Perang memberikan wadah bagi sains untuk mengembangkan inovasi alutsista karena besarnya alokasi dana militer pemerintah (Martin, 1983). Pada era ini, sains dieksploitasi bukan untuk kesejahteraan manusia, tetapi untuk kehancurannya.
Eksploitasi ilmu pengetahuan demi industri dan perang adalah bukti nyata bahwa sains—menurut pandangan positivisme—telah mengingkari objektivitasnya sebagai ilmu yang bebas nilai. Partisipasi ilmu pengetahuan dalam memajukan kapitalisme—yang menguntungkan kaum borjuis namun menekan kaum pekerja—juga peran dalam memajukan persenjataan perang dengan fungsi utama pencederaan, sehingga sains telah mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan. Masa depresi pada awal abad ke-20 ini dianggap memprihatinkan bagi orang-orang yang mengasosiasikan diri dengan Teori Kritis.
Teori Kritis merupakan konstruksi moral yang tercipta untuk mengurangi penderitaan manusia dengan memberikan martabat bagi siapa saja, apapun kondisi, situasi, dan realitas yang sedang dihadapi (Steinberg & Kincheloe, 2010). Di bawah bendera Aliran Frankurt—kelompok filsuf yang memegang tradisi Marxisme Eropa Barat. Teori Kritis memosisikan ilmu pengetahuan secara berbeda karena memiliki tujuan khusus berupa emansipasi manusia dari perbudakan, bertindak sebagai pengaruh yang membebaskan untuk membangun dunia yang dapat memenuhi kebutuhan dan kekuasaan manusia (Bohman, 2005). Teori Kritis memisahkan diri dari “teori tradisional” seperti positivisme yang ternyata tidak senetral seperti yang selama ini berusaha ditunjukkan karena adanya minat sosial yang mempengaruhi nilai objektif yang seharusnya dipegang. Perkembangan kebudayaan modern telah melahirkan budaya konformitas yang mengekang; sebagai contoh, masyarakat yang berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan standar sosial seperti misalnya mode berpakaian yang sesuai zaman (Bronner, 2011). Melalui emansipasi, Teori Kritis ingin melibatkan proses berpikir demi pemenuhan hak asasi manusia maupun pelampauan kapitalisme yang historis (Gottardis, 2014).
Sesuai dengan cita-cita Teori Kritis untuk mewujudkan pengetahuan yang emansipatoris, terdapat kebutuhan besar untuk menerapkan praksis—suatu tindakan untuk menciptakan perubahan di dunia (Boros, 2019). Salah satu aplikasi nyata Teori Kritis adalah melalui pendidikan yang emansipatoris dan memberikan kebebasan dari ketidaktahuan. Paulo Freire mengejawantahkan konsep ini melalui pedagogi kritis, yaitu suatu pembebasan dari penindasan dengan memberikan pengetahuan yang menyadarkan masyarakat tertindas terhadap situasinya sehingga mereka lebih berdaya (Freire, 2018). Gerakan serupa dapat ditemukan di Indonesia dalam Sokola Institute yang didirikan oleh eks-pendamping kelompok masyarakat adat Orang Rimba yang bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, yang pada awalnya didirikan untuk memberikan program baca-tulis-hitung bagi anak masyarakat adat Orang Rimba (Anindita dkk., 2019).
Eksistensi masyarakat adat Orang Rimba terancam karena adanya kerusakan alam akibat pembangunan infrastruktur, pembukaan kebun sawit dan pohon karet. Hal ini juga menyebabkan terjadinya marginalisasi karena relokasi penduduk dari tempat tinggal yang dilakukan pemerintah dengan dalih kelestarian alam. Perkembangan industri dan ekonomi juga memperkenalkan konsumerisme pada masyarakat adat yang mendorong mereka untuk memperoleh uang dengan melakukan penggadaian tanah adat yang selama ini mereka diami. Kegiatan pendidikan baca-tulis-hitung dikritisi oleh anak Orang Rimba sendiri, yang menganggap bahwa menjadi pintar karena kemampuan membaca dan menulis tidak berguna bila hutan yang mereka tinggali hancur dan mereka dipaksa keluar dari hutan.
Kondisi yang dialami Orang Rimba menunjukkan bahwa masyarakat adat rawan menjadi korban perkembangan zaman: tanah yang mereka tinggali oleh industri, kriminalisasi tradisi, dan perdagangan manusia yang menyasar perempuan dan juga anak-anak (Asia Indigenous Peoples Pact, 2015). Ancaman-ancaman ini mendorong Sokola Rimba untuk merumuskan strategi pendidikan kontekstual berbasis persoalan komunitas yang memang dibutuhkan dan dapat meningkatkan daya hidup masyarakat adat seperti literasi terapan berupa pembelajaran berhitung tematis yang bermanfaat bagi mereka saat melakukan transaksi belanja secara efektif tanpa perlu takut ditipu pedagang (Anindita dkk., 2019).
Praksis Psikologi Kritis dan Pengungkapan Relasi Kuasa dalam Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya ada untuk menyejahterakan manusia. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari pikiran dan perilaku manusia memiliki kesempatan besar untuk berpartisipasi dalam meningkatkan derajat hidup manusia. Praktik konseling dan psikoterapi yang dilakukan praktisi psikologi pada dasarnya bertujuan untuk memfasilitasi klien agar meraih kesejahteraan diri dari distress, tekanan, kekurangmampuan menyesuaikan diri, persoalan emosional, dan kondisi krisis dalam tataran individual maupun kelompok. Praktik ini pernah dilakukan oleh Frantz Fanon dalam analisis investigasi psikologis pada masalah sosial seperti dampak penjajahan dan rasisme terhadap trauma, pemaknaan pengalaman, dan perkembangan anak (Desai, 2014). Fanon menerapkan praktik psikoanalisis dalam konteks pasca—kolonialisme yang memberikan kontribusi dalam memahami trauma karena rasisme yang dialami anak-anak sehingga sekolah dapat memberikan pendidikan yang inklusif tanpa rasisme, dan aman bagi pembelajarnya (Dei, 2010).
Melalui studi yang ia lakukan, Fanon mengungkap relasi kuasa dalam penindasan yang terjadi pada masa penjajahan terhadap orang kulit hitam. Adanya pemerkosaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak yang lebih dominan terhadap kaum yang lebih lemah menunjukkan adanya relasi kuasa yang ekstrem. Ihwal diskursus relasi dan kekuasaan menjadi perhatian bagi Michel Foucault, seorang filsuf Prancis. Diskursus didefinisikan Foucault (2002) sebagai kesatuan cara untuk memperoleh makna dan pengetahuan subjektif yang dihasilkan sistem sosial berdasarkan kejadian historis yang memberikan dampak jangka panjang. Bagi Foucault, pengetahuan diperoleh dengan menilik perspektif sejarah dan menginvestigasi untuk mendapatkan pemahaman intrinsik terhadap apa yang terjadi di masa kini. Metode ini disebut sebagai genealogi (Crowley, 2009). Melalui genealogi, hubungan antara pengetahuan, kuasa, dan manusia pada masyarakat modern yang dibentuk oleh sejarah dapat diketahui. Foucault mengakui bahwa seiring berjalannya waktu, perubahan yang terjadi menggeser makna dari definisi maupun praktik yang dianggap wajar pada masanya. Namun, perubahan ini tidak menghapus makna yang pernah ada; makna baru dapat berjalan beriringan dan perubahan tersebut menunjukkan adanya relasi kuasa dalam pergeseran makna (Baert, 1998).
Psikologi dan Keterbukaan terhadap Perubahan
Pandangan Foucault mengenai perubahan merupakan suatu ajakan untuk menerima hal-hal baru secara terbuka, sehingga kita harus selalu siap untuk beradaptasi dengan cara pikir baru ketika dihadapkan dengan teori maupun praktik yang lebih mutakhir. Foucault juga membawa pemikirannya dalam ranah psikologi, misalnya melalui kritiknya terhadap pandangan Freud yang ia anggap sebagai mitos dengan penjelasan yang bersifat pseudo-sains (Foucault, 2008). Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu psikologi memiliki kelekatan dengan psikoanalisis Freud—yang meskipun populer dan digunakan secara luas dalam praktik profesional psikologi kontemporer, tidak dibangun dengan dasar ilmiah yang kuat. Filsafat ilmu pengetahuan menjalankan fungsinya melalui Karl Popper dengan menunjukkan kelemahan metodologi yang digunakan Freud untuk menjustifikasi psikoanalisis sebagai pseudo-sains karena semua teori mekanisme pertahanan Freud dianggap dapat diaplikasikan pada situasi apapun; dengan kata lain, psikoanalisis tidak mampu difalsifikasi (Okasha, 2002). Namun, seiring berkembangnya ilmu psikologi dan kemunculan berbagai aliran yang menantang kesahihan psikoanalisis, psikologi juga belajar untuk memilah teori yang dapat diterapkan dalam praktik keilmuan, sebagai contoh: pergeseran psikoanalisis dari penjelasan gejala yang berorientasi pada libido ke arah penjelasan berdasarkan mekanisme pertahanan yang spesifik dan kontekstual. Hingga kini, psikologi telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang terbuka terhadap perubahan dan antusias dalam mengaplikasikan temuan barunya dalam ranah keilmuan, misalnya kemajuan komputer dan brain imaging dalam neuropsikologi; keterbukaan terhadap kesetaraan multikultural dan gender; juga perkembangan terapi digital (American Psychological Association, 2020).
Memandang dengan Lensa yang Berbeda
Penerimaan psikologi terhadap teori baru sebenarnya telah dibuktikan melalui perkembangan berbagai alirannya. Hal tersebut dapat dilihat dari keinginan untuk mengelompokkan struktur kesadaran (strukturalisme), lalu beralih pada penggalian terhadap unsur ketidaksadaran manusia (psikoanalisis), kemudian membatasi diri hanya berfokus pada perilaku yang disadari (behaviorisme), hingga melibatkan manusia secara utuh dalam usaha untuk memahami manusia itu sendiri (humanistik). Aliran yang berbeda dalam psikologi menunjukkan bahwa manusia dapat dipandang dari berbagai sudut, bahwa sumber pemahaman terhadap manusia sebagai subjek ilmu psikologi bersifat jamak.
Pluralisme sebagai sumber kebenaran diungkap oleh Paul Feyerabend sebagai sebuah solusi untuk menjelaskan suatu persoalan tidak hanya melalui prinsip umum selama sumber itu mampu menyokong dan mengembangkan interaksi untuk memahami dunia (Shaw, 2018). Feyerabend (1970) mencontohkan bagaimana Galileo, Kepler, dan Newton mampu menghasilkan temuan yang mendobrak dunia ilmu pengetahuan tanpa menggunakan metode ilmiah tertentu dan menyebut mereka sebagai penganut metodologi oportunis, sehingga masalah saintifik seharusnya dapat ditangani dengan metode yang berbeda—semua metode boleh digunakan (anything goes) (dalam Shaw, 2017). Dalam tesis mengenai pluralisme Feyerabend, Shaw (2018) menggambarkan pandangan-pandangan Feyerabend yang cenderung kontradiktif dalam memandang berbagai metode ilmiah. Meskipun ia memberikan kritik dan apresiasi terhadap metode ilmiah tertentu, Feyerabend juga tidak secara terang-terangan menolak maupun menyetujui pandangan yang menjadi perhatiannya.
Feyerabend populer karena ungkapan “anything goes”, tetapi ia sendiri menolak untuk memosisikan dirinya sebagai penganut aliran tertentu, termasuk dalam pandangan “anything goes” sendiri. Hal ini diungkap dalam wawancara dengan John Horgan (2016), seorang jurnalis sains. Pada Horgan, Feyerabend mendeskripsikan dirinya sebagai seseorang yang tidak memihak posisi tertentu, tetapi akan mempertahankan apa yang ia percayai pada satu waktu hanya untuk meninggalkan pemikirannya bila ia merasa ide itu konyol.
Feyerabend dianggap sebagai sosok kontroversial karena mendukung hal yang tidak ilmiah seperti astrologi, voodoo, praktik perdukunan, dan pengobatan tradisional, bahkan juga terpinggirkan karena menolak untuk mengutuk kekejaman Nazi (Horgan, 2016; Kidd, 2016). Selain itu, dengan posisi Feyerabend yang “tanpa posisi”, mudah untuk tidak menanggapi pemikirannya secara serius. Namun, di luar itu semua, Feyerabend telah menunjukkan bahwa hal-hal yang diciptakan oleh manusia dalam usaha untuk memperoleh kebenaran tetap memberikan kontribusi tersendiri bagi praktisinya.
Bagi Feyerabend, memercayai sesuatu secara berlebihan tanpa membuka diri terhadap kemungkinan lain adalah bentuk dari kesewenang-wenangan terhadap kebenaran (Akpan, 2005). Melalui pemikirannya yang tidak konvensional, Feyerabend mengajak untuk mengapresiasi hal-hal di sekeliling kita yang selama ini kita abaikan (taken for granted), karena keberadaan hal lain yang lebih superior, misalnya dengan hanya “memercayai” sesuatu yang ilmiah. Feyerabend, dengan ide-ide provokatifnya, mengajak kita untuk lebih terbuka dalam memandang berbagai situasi dan melihat kebenaran melalui lensa yang berbeda.
Penutup
Sejak awal eksistensinya di dunia, manusia selalu berusaha mencari dan menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan (sains) merupakan alat yang diciptakan dan digunakan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk memuaskan keingintahuan akan cara kerja dunia. Sains membawa manusia pada kemajuan. Sains berkembang, diperdebatkan, dan dipertanyakan kesahihan metodologinya. Namun pada akhirnya, apresiasi terhadap aktivitas yang dilakukan manusia perlu diberikan, selama kegiatan yang dijalankan mampu memuaskan dahaga manusia akan jawaban, memberdayakan kaum yang terpinggirkan, dan dapat menyejahterakan semua pihak.
Daftar Pustaka
Akpan, C. O. (2005). Feyerabend’s Philosophy of Science and its Implications for National Development in Africa. Journal of Indian Council of Philosophical Research, 4, 45–55.
American Psychological Association. (2020). Monitor on Psychology: 10 Trends to Watch in 2020. American Psychological Association. https://www.apa.org/members/content/2020-trends-report.pdf
Anindita, A. D., Manurung, B., Rokhdian, D., Apristawijaya, F. M., & Fawaz. (2019). Melawan Setan Bermata Runcing. Sokola Institute.
Asia Indigenous Peoples Pact. (2015, Mei 31). Victims of development aggression: Indigenous Peoples in ASEAN. Asia Indigenous Peoples Pact. https://aippnet.org/victims-of-development-aggression-indigenous-peoples-in-asean/
Baert, P. (1998). Foucault’s history of the present as self-referential knowledge acquisition. Philosophy & Social Criticism, 24(6), 111–126. https://doi.org/10.1177/019145379802400605
Bohman, J. (2005). Critical Theory. https://plato.stanford.edu/archives/win2019/entries/critical-theory/
Boros, D. (2019). Critical theory and the challenge of praxis. Contemporary Political Theory, 18(1), 5–7. https://doi.org/10.1057/s41296-017-0179-y
Bronner, S. E. (2011). Critical Theory: A Very Short Introduction. Oxford University Press, USA.
Buchanan, R. A. (2020, November 18). History of technology. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/technology/history-of-technology
Crowley, U. (2009). Genealogy, method. Dalam International Encyclopedia of Human Geography (hlm. 341–344). Elsevier. http://mural.maynoothuniversity.ie/3024/
Dei, G. J. S. (2010). CHAPTER ONE: Rereading Fanon for His Pedagogy and Implications for Schooling and Education. Counterpoints, 368, 1–27.
Desai, M. U. (2014). Psychology, the psychological, and critical praxis: A phenomenologist reads Frantz Fanon. Theory & Psychology, 24(1), 58–75. https://doi.org/10.1177/0959354313511869
Foucault, M. (2002). Archaeology of Knowledge. Psychology Press.
Foucault, M. (2008). Mental Illness and Psychology. University of California Press.
Freire, P. (2018). Pedagogy of the Oppressed: 50th Anniversary Edition. Bloomsbury Publishing USA.
Friedman, M. (2004). Ernst Cassirer. https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/cassirer/
Gottardis, A. (2014). Reason and Utopia: Reconsidering the Concept of Emancipation in Critical Theory. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:su:diva-108037
Grant, E. (1997). HISTORY OF SCIENCE: When Did Modern Science Begin? The American Scholar, 66(1), 105–113.
Horgan, J. (2016, Oktober). Was Philosopher Paul Feyerabend Really Science’s “Worst Enemy”? Scientific American Blog Network. https://blogs.scientificamerican.com/cross-check/was-philosopher-paul-feyerabend-really-science-s-worst-enemy/
KBBI Daring. (2016). Adab. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/peradaban
Kidd, I. (2016). Why did Feyerabend Defend Astrology? Integrity, Virtue, and the Authority of Science. 30(4). https://doi.org/10.1080/02691728.2015.1031851
LaMorte, W. W. (2017). The Industrial Revolution. The Evolution of Epidemiologic Thinking. https://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/mph-modules/ep/ep713_history/ep713_history4.html
National Geographic Society. (2018, Februari 6). Key Components of Civilization. https://www.nationalgeographic.org/article/key-components-civilization/
National Geographic Society. (2020, Januari 27). Industrialization, Labor, and Life. National Geographic Society. http://www.nationalgeographic.org/article/industrialization-labor-and-life/7th-grade/
Okasha, S. (2002). Philosophy of Science: A Very Short Introduction. OUP Oxford.
Pobiner, B. (2016, Februari 23). The First Butchers. SAPIENS. https://www.sapiens.org/biology/homo-sapiens-and-tool-making/
Purcell, N. (2015, Desember 22). Civitas. Oxford Research Encyclopedia of Classics. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780199381135.013.1599
Renima, A., Tiliouine, H., & Estes, R. J. (2016). The Islamic Golden Age: A Story of the Triumph of the Islamic Civilization. Dalam H. Tiliouine & R. J. Estes (Ed.), The State of Social Progress of Islamic Societies: Social, Economic, Political, and Ideological Challenges (hlm. 25–52). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-24774-8_2
Shaw, J. (2017). Was Feyerabend an anarchist? The structure(s) of ‘anything goes.’ Studies in History and Philosophy of Science Part A, 64, 11–21. https://doi.org/10.1016/j.shpsa.2017.06.002
Shaw, J. (2018). A Pluralism Worth Having: Feyerabend’s Well-Ordered Science. Electronic Thesis and Dissertation Repository. https://ir.lib.uwo.ca/etd/5599
Steinberg, S. R., & Kincheloe, J. L. (2010). Power, Emancipation, and Complexity: Employing Critical Theory. Power and Education, 2(2), 140–151. https://doi.org/10.2304/power.2010.2.2.140
Sulaiman, K. U. (2016). CIVILIZATION: HISTORY, DESCRIPTION, COMMON CHARACTERISTICS AND IMPORTANCE. 5, 12.
White, M. (2018, Juni 21). The Enlightenment. The British Library; The British Library. https://www.bl.uk/restoration-18th-century-literature/articles/the-enlightenment
Williams, L. P. (2018, November 30). History of science. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/science/history-of-science
Komentar
Posting Komentar